SINGAPURA – Negeri yang selama ini dikenal sebagai surga kuliner Asia Tenggara kini tengah menghadapi krisis besar. Industri makanan dan minuman (F&B) di Singapura diguncang oleh gelombang penutupan restoran akibat kenaikan sewa yang tidak terkendali dan krisis tenaga kerja.

Bahkan, restoran legendaris Ka-Soh, yang sudah berdiri selama 86 tahun, resmi menutup bisnisnya. Restoran ini terkenal dengan menu mi kuah ikan seharga Rp89.000 per mangkuk, harga yang tergolong murah untuk standar hidup Singapura.

Kenaikan Sewa Jadi Biang Kerok

Dilansir dari CNA News (21/9/2025), kenaikan sewa menjadi keluhan utama pelaku usaha kuliner.

Ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF), Terence Yow, menyebut sebagian besar penyewa mengalami kenaikan antara 20 hingga 49 persen—angka tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Lonjakan harga properti dan minat investor pada ruko membuat pemilik bangunan menaikkan tarif sewa secara agresif.

Ethan Hsu dari Knight Frank Singapore bahkan menyebut, “Bahkan kenaikan 50 hingga 100 persen belum tentu menyamai harga pasar saat ini.”

Baca juga: Bangkok Bukan Hanya Surga Kuliner! Ini 4 Atraksi Wisata yang Lagi Viral di 2025

Hal ini pula yang dialami oleh Cedric Tang, pemilik Ka-Soh.

“Dua tahun lalu, sewa melonjak 30 persen menjadi 15.000 dollar Singapura atau sekitar Rp192 juta per bulan, dan diperkirakan naik lagi,” ujarnya.

Tang menolak menaikkan harga menu karena ingin tetap terjangkau bagi pelanggan setia.

“Saya bahkan mencuci piring sendiri untuk menghemat biaya, tapi tetap tidak cukup. Dunia kuliner Singapura saat ini benar-benar menantang,” katanya dengan nada getir.

Baca juga: Explore Nusantara! 4 Destinasi Indah Indonesia yang Tidak Kalah dari Maldives atau Swiss!

Krisis Tenaga Kerja, Gaji Tak Bisa Bersaing

Krisis Kuliner Melanda Singapura: Restoran Legendaris Ka-Soh Tutup Setelah 86 Tahun Beroperasi

Singapura masa sulit pada industri kuliner (ilustrasi)

Selain sewa, masalah besar lain datang dari krisis tenaga kerja. Pemilik restoran kecil kesulitan mencari koki dan staf dapur karena pemain besar menggandakan gaji untuk menarik karyawan.

“Perusahaan kecil tidak bisa bersaing,” ungkap Ronald Chye, pemilik Burp Kitchen, yang menutup bisnisnya pada Agustus 2025.

Asosiasi Restoran Singapura bahkan menyebut kondisi ini sebagai krisis serius di sektor tenaga kerja kuliner.

Data pemerintah menunjukkan, tahun lalu lebih dari 3.000 bisnis F&B tutup, atau setara 250 tempat makan setiap bulan — angka tertinggi dalam hampir 20 tahun.

“Bahkan restoran yang masuk Michelin Guide pun ikut tumbang hanya beberapa minggu setelah panduan itu terbit,” ujar mantan pemilik restoran Chua Ee Chien.

Perubahan Gaya Hidup Masyarakat

Selain tekanan ekonomi, pergeseran gaya hidup warga Singapura turut memperparah situasi.

Menurut survei YouGov, 26 persen warga berencana mengurangi makan di luar, sementara 20 persen akan mengurangi pesanan makanan daring.

“Sekarang saya lebih sering makan di luar negeri. Harga di sana bisa 30–40 persen lebih murah,” kata Glenn Chew, profesional muda berusia 26 tahun.

Blogger kuliner ternama Seth Lui mengaku khawatir bahwa gelombang penutupan ini akan mengikis warisan kuliner khas Singapura.

“Kita bisa kehilangan banyak cita rasa yang membentuk identitas kota ini,” ujarnya.

Prediksi Suram

Ekonom Maybank, Brian Lee, memperkirakan gelombang penutupan restoran di Singapura masih akan berlanjut hingga akhir tahun.

“Bahkan restoran terkuat pun kini kesulitan bertahan,” katanya.

Dengan meningkatnya biaya hidup, perubahan gaya konsumsi, dan ketatnya persaingan, banyak pengamat menilai bahwa Singapura mungkin tidak lagi menjadi destinasi ‘makan enak’ seperti dulu. (dr)

Sumber: kompas

Rate this post